Kamis, 12 Desember 2024

Memulai Kembali...

 

Lama sekali, perjumpaan itu telah terhapus waktu. Mengendap dalam Bahasa bisu. Aku menjumpainya lagi. Pada ruang kosong yang penuh jala. Ingatan-ingatan terbawa pada tahun-tahun saat rindu datang sebagai kutukan dan perjumpaan adalah penawarnya. Ruang ide yang lama tak terjamah, aku merindu pada prosesnya. Kubereskan dan kurapihkan. Ditata Kembali serakan ide dan ingatan. Aku berjumpa pada malam-malam yang penuh semangat, saat emosi aku tuangkan dalam kata dan bahasa.

2024, di akhir musim, ku isi Kembali blog ini.

13 Desember 2024

Senin, 24 April 2017

Kamarku semestaku




Riciknya sudah tidak terdengar, namun masih menyisakan harum tanah yang disiram hujan. Angin menyelinap tanpa permisi melalui jendela kamar yang sengaja tak ditutup. Mengisi sejuk di seantero kamar. Saya masih duduk bersila, menyelesaikan lembar-lembar tentang Stamford Raffles di Cilincing. Malam ini, Jakarta sungguh mempersona. Sisa hujan tadi sore, semerebak harum tanah, dedaunan yang tesipu dibelai angin atau udara segar sehabis hujan. Tuhan hadir!

Saya keluar kamar, menghirup dalam-dalam aroma kedamaian yang diceritakan alam malam ini. Langit pun sepertinya sengaja harmonis dengan malam, taburan bintang samar terlihat. Saya tidak percaya, apakah betul saya sedang di Jakarta? Ya, ini Jakarta jawab pohon-pohon pisang itu. Betul ini memang Jakarta, namun pemandangan syahdu seperti malam ini seperti rekaan yang amat sulit dicerna nalar, seolah keindahan tidak berhak di kota ini. Jakarta jarang sekali seromantis ini. Lebih sering banal daripada damai.

Libur tiga hari saya manfaatkan untuk melakukan kesenangan yang sering terlewatkan. Membaca, nonton film, menulis, sorenya olahraga, berekperimen rasa dan hal-hal menyenangkan lainnya. Saya amat senang menghabiskan waktu berlama-lama di kamar, sendirian. Kadang kala, saya butuh waktu untuk benar-benar sendiri, menikmati kesendirian tepatnya. Tanpa peduli keadaan di luar sana yang riuh dengan kemacetan, tawuran di jalan Dewi Sartika, Mall yang dipadati generasi urban atau apapun itu. Meskipun libur Jakarta tetap penat dan saya tidak memilih untuk menghabiskan waktu dikeramaian.

Di kamar ini, saya bisa tak perlu banyak bicara, melakukan petualangan dalam fantasi-fantasi yang luar bisa, kemudian mengendapkan realitas dalam tulisan-tulisan, ritus kontemplatif yang paling sahih. Saya ingin belajar menilai saya sendiri, melihat sampai saya melangkah dan seberapa sering terjatuh, agar menolak menjadi manusia congkak, boleh menyebalkan namun menjadi sombong bukanlah didikan orang tua di rumah.

Menikmati keasyikan diri sendiri sangat jarang saya lakukan, rutinitas urban seringkali membuat saya jarang menyentuh kamar kost. Oleh karena itu, libur tiga hari ini saya gunakan sebagai balas dendam terbaik.

Sejak tiga tahun di Jakarta, ada beberapa hal mendasar yang merubah diri saya. salah satunya, saya menyukai sendiri. Sendiri membuat saya lebih tenang dan fokus. Kesendirian membuat saya belajar memahami diri sendiri yang sebenarnya tidak rumit-rumit amat dijelaskan. Pastinya, ada ruang-ruang yang membuat saya meminta untuk sendiri, padahal ketika di Jember, saya paling tidak suka kesendirian, dulu. Entahlah, saya tidak terlalu ambil pusing karena ada kenikmatan dan kekhimatan yang tidak didapatkan di tengah keramaian.

Kesemestaan itu ada di Kamar Pojok
Setahun setengah kamar ini menjadi keseharian yang tak terpisahkan. Buku-buku menjadi peneduh yang paling kentara di kamar ini. Tidak sebanyak buku-buku yang di Surabaya, kebutuhan rohani saya masih diisi kisaran 200an buku. Merintis dari awal lagi, buku-buku yang kelak akan menjadi pengisi hari tua saya sudah dipersiapkan sejak sekarang. Kamar ini sebisa mungkin harus rapi dan wangi. karena memang fungsi utamanya sebagai oase kesemestaan yang menentramkan. 

Selain buku, saya melengkapi kamar ini dengan hal-hal yang memudahkan kebutuhan saya. ruang berukuran 5x5 dengan kamar mandi di dalam ini merupakam oase kesemestaan, tempat segala lelah dan resah saya diendapkan. Tak jarang saya bereksperimen rasa, memasak atau membuat kudapan yang menyenangkan. Saya menambah fasilitas sendiri, agar tidak bau asap ketika memasak saya memasang kipas penyedot, agar memudahkan berselancar saya pasang wifi. Di kamar ini, segalanya harus terlihat mudah dan efektif. Kebutuhan akan tentram terjawab di ruang ini. saya bisa dikatakan beruntung mendapatkan kontrakan ini, dekat dengan kebun pisang ketika malam terasa sejuk, ketika siang dibelai angin, airnya yang jernih dan tidak bau kaporit, tetangga yang guyub dan memahami rutinitas saya yang suka pulang tengah malam atau bahkan dini hari. Semuanya terasa memudahkan di kontrakan ini.

Kesemestaan di kamar ini karena banyak memberikan insiprasi, mengajak saya berselencar dalam imaji-imaji yang luas. Sekali lagi saya mengulanginya, di kamar ini ketenangan saya benar-benar diendapkan. Tempat ide-ide saya dituliskan. 

Soal kontrakan ini, saya sengaja menyembunyikan dari banyak kawan. Hanya kawan yang dekat yang mengetahui lokasi kontrakan ini. Di tempat ini, saya ingin privasi saya benar-benar terjaga. Tidak ada yang menjemput atau berkunjung ketika saya benar-benar butuh istrahat. Sesungguhnya saya amat menyesal dengan habit baru saya ini, saya seperti orang yang solitaire, individualis. Ketahuilah, menjalani ritus di Jakarta itu tidak mudah. Saya tidak ingin menjadi teralienasi karena harus mengikui laju kota yang sangat dinamis. Saya tidak ingin selalu menghabiskan kesenangan di mall, di kedai kopi yang mahal, di kedai junk food yang sialan. Kebiasaan itu mengkhawatirkan saya. oleh karena itu, menjauh dari rutinitas demikian dengan sekekali perjumpaan tentunya, merupakan hal yang harus saya lakukan. Demi tetap menjaga agar humanitas saya tetap utuh.

Pada akhirnya, di Jakarta saya harus mengakui bahwa kita butuh ruang untuk ‘bersembunyi’, menendap atau apalah itu demi tetap menjadi seutuhnya manusia. Meskipun saya kecewa dengan diri saya yang dekontruksi oleh kota ini, namun ada keberuntungan yang masih saya syukuri: saya tidak terlahir kembali menjadi manusia urban yang bapuk. Di kamar ini, saya tetap di jaga sebagai manusia sederhana!


Ah, saya sampai lupa kalau sebenarnya saya mau menulis laporan riset, malah nulis ngalor-ngidul. Suara Liam Gallagher seringkali membuat tetiba saya meletupkan semangat . Sialan. 

Selasa, 04 April 2017

Kota Pelupa

Aku menemui wajah-wajah meminta keabadian
Aku berjalan menjumpai racauan pada kota yg pelupa
Kedamaian telah dikremasi untuk Kota berlagak santun

Sedangkan di sisa rumah yg rubuh
Tangisan telah terbiasa
Lapar telah berkuasa
Nyawa-nyawa tak berharga
Mengemislah pada penguasa
Namun sia-sia,
Karena keberpihakan telah binasa

Di sini,
kemanusiaan diteriakan oleh intelektual degil
Dijual murah ketika kampanye
Dibungkam, dihabisi jika melawan.

Di sini
Kebenaran adalah definisi Penguasa
Rakyat hanyalah paduan suara
Tak heran jika dibiarkan tetap jadi pelupa


Tak Perlu Nama, hanya Bocah

Sekarang saya tidak mengenal kamu. Ingatan telah terlanjur dilarung bermuara pada keterasingan. Ibarat perjumpaan. Perjumpaannya seperti lebah dan bunga. Seperti ngengat dan cahaya, seperti komet dan gravitasi.Tak perlu berlama-lama.

Seperti musafir yg sekedar menginap di tengah oase. Namun kamu, tamu yg tak sekedar merebahkan sakitmu kemudian sembuh menguntai perjalanan baru. Saya pikir begitu mudah melupakannya. Namun Saya tak pernah memahami itu.

Seperti gerimis di malam terakhir saya dan kamu berjumpa, menetes bagi sulur yg menjulai perjalanan sederhana. Kamu adalah anak angin yg datang bagai ombak, riciknya menghapus coretan pasir. Bukan semacam sesal yg menanggung semua ini. Ini hanya komposisi denyut keberpihakan dan semacam rasa rindu yg segan untuk dilarung. Saya memang sdh melarung ingatan namun tidak tentang rindu.

Malam ini. Di Borneo yg basah. Air gambut tempat ikan gabus bernyanyi. Kunang2 yg berpura2 lugu dan hamparan galaksi Bima Sakti, ada nada bicaramu dan senyummu yg tersungging menyelinap dalam lamunan malam. Dan suaramu memanggilku "mas....." Sayup2 dimakan waktu. Sialan. Mengapa kau datang pada malam yg semestinya segera saya musnahkan sedari dulu.

Ini bukan perkara malam dan langit dengan segala ceritanya. Ini hanya perkara memelihara rindu yg tak sederhana. Iya sesederhana itu, memahami kalau sy rumit.
Menjelaga dalam bayang2 yg semakin samar sambil sesekali bertanya, "apakah kamu masih semanis dan sehalus dahulu?". Saya pun pernah meminta jawaban karena sy tidak mengenal kamu lagi.

Namun. Saya dan kamu telah bersepakat menjadi liyan. Dilahirkan kembali dalam ketidaktauan meski sesekali saya memberontak. Mencoba menahan laju waktu yg terlampau cepat menghapus semua tentangmu.
Tetap saja. Kamu telah jauh hilang berjalan pada temarammu sendiri, tentu yang kmu pilih. Sedang saya masih asyik menanak rindu pd melankolia lapuk.

Baiklah. Jika esok hadir kembali. Ketika dedaunan masih membisu diselimuti embun, prenjak2 berlompatan di dahan bakau dan jaring yg ditebar malam ini terisi gabus.
Kutunggu lakumu di sepanjang tanda tanya, jika kamu tidak bisa menjadi rahim bagi anak-anak revolusionerku kelak. Setidaknya padamu tanah gersang melahirkan sajak, anak rohaniku. Tentu kamu yg telah menjadi asing karena saya hanya mengenal senyummu di kota yg tua itu. Tidak lebih. Itu saja.



Selamat malam, -saya tetap panggil- bocah!

Rabu, 05 Oktober 2016

Untuk Timur Jauh




Kalian curi kebenaran yang kami akui
Menjadikannya senjata untuk membunuhi
Merobohkan gubuk-gubuk tua
Tempat  Tuhan berdiam diri

Kalian merebut kebebasan
Teriakan kami dibungkam atas nama ketertiban
Menyuruh kami berbaris rapi
Taat perintah untuk NKRI
Namun otak kalian tak pernah jernih

Saudara kami kalian injaki
Ludahi
Kalian curi tanah kami
Kemudian meracau jika ada yang peduli

Kata-kata kami bukan puisi[1]
Namun sebilah pedang yang menagih janji
Karena kami tak bisa berdiam diri


*2016


[1] Puisiku bukan puisi (Fajar Merah)

Tidak Perlu Judul



Menulis adalah rileksasi. Menulis adalah kontemplasi. Menulis adalah penyembuhan rohani. Seperti itu kiranya. Rutinitas padat, ala ibu kota, dengan segala lalu lalang yang serba cepat namun menanggalkan kepedulian. Tentu, tidak akan baik jika berkutat dengan kekakuan maka menulis adalah penggendapan rasa. Saya menulis apapun. Namun ada tanya ketika saya menulis puisi. Apakah saya menulis puisi? Apakah yang saya tulis itu puisi? Apa itu puisi? Jika memang puisi itu karya sastra, lalu apakah saya menulis sastra?
Pemahaman saya tidak mendalam terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut. Literatur tidak memuaskan pertanyaan saya. Apa yang saya baca berdasarkan pengalaman spiritual si pendefinisinya. Saya ingin mencari sendiri spiritualitas dalam puisi itu, tentu dengan pemahaman dari mereka yang bisa dikatakan ahli.
Kemudian, apa karya sastra itu? Semacam kata-kata yang tidak biasa yang diberikan pakem-pakem  tertentu sehingga sahih dikatakan sastra?
Di titik pertemuan yang liyan, pertanyaan itu sepertinya tak perlu dijadikan terang. Biarkan terus bertanya. Sampai saat ini, pemahaman karya sastra bagi saya adalah taburan bahasa yang didalamnya membentuk keindahan, seperti bintang di malam hari, jika satu bintang tentu tak akan indah. Namun jika bertaburan, akan lain definisinya.

Selasa, 04 Oktober 2016

Kosong



Berlayarlah sampan yang nampak ragu
Membawa harapan yang dipaksakan sebagai kenyataan
Sedangakan, orang disana berdandan agar tampak suci
Berselimut masalalu, penuh penindasan. berceracau tentang puja puji Kuasa
Mereka Bergelang tameng dan berselendang pedang
Bergaya ala heroik-heroik pemenang perang
Puan lupa, sampan hampir tenggelam
Kepedulian telah punah dalam busa-busa retorik
Sementara, puan hanyalah omongkosong yang tak paham kebenaran
Sebentar lagi, kematian datang tanpa makna
Akhir berkunjung lebih cepat
Tanpa diduga