Riciknya sudah tidak terdengar,
namun masih menyisakan harum tanah yang disiram hujan. Angin menyelinap tanpa
permisi melalui jendela kamar yang sengaja tak ditutup. Mengisi sejuk di seantero
kamar. Saya masih duduk bersila, menyelesaikan lembar-lembar tentang Stamford
Raffles di Cilincing. Malam ini, Jakarta sungguh mempersona. Sisa hujan tadi
sore, semerebak harum tanah, dedaunan yang tesipu dibelai angin atau udara segar sehabis hujan. Tuhan hadir!
Saya keluar
kamar, menghirup dalam-dalam aroma kedamaian yang diceritakan alam malam ini. Langit
pun sepertinya sengaja harmonis dengan malam, taburan bintang samar terlihat. Saya
tidak percaya, apakah betul saya sedang di Jakarta? Ya, ini Jakarta jawab
pohon-pohon pisang itu. Betul ini memang Jakarta, namun pemandangan syahdu
seperti malam ini seperti rekaan yang amat sulit dicerna nalar, seolah keindahan tidak berhak di kota ini. Jakarta jarang
sekali seromantis ini. Lebih sering banal daripada damai.
Libur tiga hari saya manfaatkan
untuk melakukan kesenangan yang sering terlewatkan. Membaca, nonton film,
menulis, sorenya olahraga, berekperimen rasa dan hal-hal menyenangkan lainnya. Saya
amat senang menghabiskan waktu berlama-lama di kamar, sendirian. Kadang kala, saya butuh waktu untuk benar-benar sendiri, menikmati kesendirian tepatnya. Tanpa peduli
keadaan di luar sana yang riuh dengan kemacetan, tawuran di jalan Dewi Sartika, Mall yang dipadati generasi urban atau apapun itu. Meskipun libur Jakarta tetap
penat dan saya tidak memilih untuk menghabiskan waktu dikeramaian.
Di kamar ini, saya bisa tak perlu
banyak bicara, melakukan petualangan dalam
fantasi-fantasi yang luar bisa, kemudian mengendapkan realitas dalam tulisan-tulisan,
ritus kontemplatif yang paling sahih. Saya ingin belajar menilai saya sendiri,
melihat sampai saya melangkah dan seberapa sering terjatuh, agar menolak menjadi
manusia congkak, boleh menyebalkan namun menjadi sombong bukanlah didikan orang
tua di rumah.
Menikmati keasyikan diri sendiri
sangat jarang saya lakukan, rutinitas urban seringkali membuat saya jarang
menyentuh kamar kost. Oleh karena itu, libur tiga hari ini saya gunakan sebagai
balas dendam terbaik.
Sejak tiga tahun di Jakarta, ada
beberapa hal mendasar yang merubah diri saya. salah satunya, saya menyukai
sendiri. Sendiri membuat saya lebih tenang dan fokus. Kesendirian membuat saya
belajar memahami diri sendiri yang sebenarnya tidak rumit-rumit amat
dijelaskan. Pastinya, ada ruang-ruang yang membuat saya meminta untuk sendiri,
padahal ketika di Jember, saya paling tidak suka kesendirian, dulu. Entahlah, saya tidak terlalu
ambil pusing karena ada kenikmatan dan kekhimatan yang tidak didapatkan di
tengah keramaian.
Kesemestaan itu ada di Kamar Pojok
Setahun setengah kamar ini
menjadi keseharian yang tak terpisahkan. Buku-buku menjadi peneduh yang paling
kentara di kamar ini. Tidak sebanyak buku-buku yang di Surabaya, kebutuhan rohani saya masih diisi kisaran 200an buku. Merintis dari awal
lagi, buku-buku yang kelak akan menjadi pengisi hari tua saya sudah dipersiapkan
sejak sekarang. Kamar ini sebisa mungkin harus rapi dan wangi. karena memang fungsi utamanya sebagai oase kesemestaan yang menentramkan.
Selain buku, saya melengkapi
kamar ini dengan hal-hal yang memudahkan kebutuhan saya. ruang berukuran 5x5
dengan kamar mandi di dalam ini merupakam oase kesemestaan, tempat segala lelah
dan resah saya diendapkan. Tak jarang saya bereksperimen rasa, memasak atau membuat kudapan yang menyenangkan. Saya menambah fasilitas sendiri, agar tidak bau asap ketika memasak saya memasang kipas penyedot, agar memudahkan berselancar saya pasang wifi. Di kamar ini, segalanya harus terlihat mudah dan efektif. Kebutuhan akan tentram terjawab di ruang ini. saya bisa dikatakan
beruntung mendapatkan kontrakan ini, dekat dengan kebun pisang ketika malam terasa sejuk, ketika siang dibelai angin, airnya yang
jernih dan tidak bau kaporit, tetangga yang guyub dan memahami rutinitas saya
yang suka pulang tengah malam atau bahkan dini hari. Semuanya terasa memudahkan
di kontrakan ini.
Kesemestaan di kamar ini karena
banyak memberikan insiprasi, mengajak saya berselencar dalam imaji-imaji yang
luas. Sekali lagi saya mengulanginya, di kamar ini ketenangan saya benar-benar
diendapkan. Tempat ide-ide saya dituliskan.
Soal kontrakan ini, saya sengaja
menyembunyikan dari banyak kawan. Hanya kawan yang dekat yang mengetahui lokasi
kontrakan ini. Di tempat ini, saya ingin privasi saya benar-benar terjaga. Tidak
ada yang menjemput atau berkunjung ketika saya benar-benar butuh istrahat. Sesungguhnya
saya amat menyesal dengan habit baru saya ini, saya seperti orang yang
solitaire, individualis. Ketahuilah, menjalani ritus di Jakarta itu tidak mudah.
Saya tidak ingin menjadi teralienasi karena harus mengikui laju kota yang
sangat dinamis. Saya tidak ingin selalu menghabiskan kesenangan di mall, di
kedai kopi yang mahal, di kedai junk food yang sialan. Kebiasaan itu
mengkhawatirkan saya. oleh karena itu, menjauh dari rutinitas demikian dengan
sekekali perjumpaan tentunya, merupakan hal yang harus saya lakukan. Demi tetap
menjaga agar humanitas saya tetap utuh.
Pada akhirnya, di Jakarta saya
harus mengakui bahwa kita butuh ruang untuk ‘bersembunyi’, menendap atau apalah
itu demi tetap menjadi seutuhnya manusia. Meskipun saya kecewa dengan diri saya
yang dekontruksi oleh kota ini, namun ada keberuntungan yang masih saya
syukuri: saya tidak terlahir kembali menjadi manusia urban yang bapuk. Di kamar
ini, saya tetap di jaga sebagai manusia sederhana!
Ah, saya sampai lupa kalau
sebenarnya saya mau menulis laporan riset, malah nulis ngalor-ngidul. Suara Liam
Gallagher seringkali membuat tetiba saya meletupkan semangat . Sialan.